Desain Cahaya Alami Gereja Era Arsitektur Modern 1830 - Sekarang
Bagaimana arsitek mensiasati cahaya alami untuk menghadirkan suasana kebatinan sakral pada Arsitektur Gereja Modern.
Zaman modern membawa perubahan paradigma mendasar dalam cara pandang manusia memandang rumah ibadah. Pasca perang dunia ke dua, pandangan masyarakat akan arsitektur gereja bergeser yang semula dirancang untuk melambangkan Tuhan yang Maha Agung, Maha Kuasa dan Maha Tinggi, menjadi Tuhan yang Maha Cinta, Mengampuni dan Sederhana.
Dalam desain gereja, dapat kita lihat ada pergeseran yang ditandai dengan pergeseran dari ciri Arsitektur yang simetri, megah dengan artwork yang realistik menjadi Arsitektur yang tidak simetris, sederhana, dan artwork sederhana dan abstrak. Beberapa gaya arsitektur yang muncul di Era Modern adalah: Brutalisme, Neo-Gotik, dan Art Deco.
Brutalisme
Salah satu contoh penting adalah Notre-Dame du Haut karya Le Corbusier, atau Kapel Ronchamp, yang diselesaikan pada tahun 1955. Bangunan ini merangkul ketidakteraturan, emosi, serta pengalaman ruang, melalui penggunaan beton bertulang untuk menciptakan dinding-dinding tebal yang membuncah dan atap dramatis seolah melayang. Beton yang dibiarkan kasar dan bertekstur tidak dimaksudkan untuk mengagumkan, melainkan untuk sekadar hadir.
Berbeda dengan marmer Renaisans atau kaca patri Gotik, material Notre-Dame du Haut menyerap cahaya dan menampung bayangan. Di sini, cahaya siang tidak sekadar menerangi, melainkan mentransformasi. Bukaan-bukaan tak beraturan dipahat pada dinding, menciptakan sumur cahaya dalam yang memantulkan serta melembutkan sinar matahari sehingga tampak berpijar dari dalam.
Seiring pergerakan matahari, pancaran cahaya merembes dan menorehkan garis di interior, membentuk koreografi pewahyuan. Sinar jatuh secara tak terduga: menorehkan pola pada bangku, menelusuri altar, dan menciptakan lingkar cahaya hening yang menghidupkan ruang yang semula statis.Fenomena ini merefleksikan pergeseran teologis abad ke-20 menuju iman eksistensial, di mana yang ilahi ditemukan bukan dalam kemegahan, melainkan dalam pengharapan.
Baca artikel lengkap: Kapel Notre Dame Du Haut di desa Ronchamp
Contoh berikutnya adalah Église Saint-Pierre di Firminy, Prancis. Dimulai pada tahun 1965 dan baru selesai pada 2006, gereja ini merupakan karya terakhir Le Corbusier. Ia hadir sebagai semacam observatorium spiritual, bukan sebagai wadah penuh simbol, melainkan sebagai bejana yang disejajarkan dengan gerak matahari.
Orientasi bangunan ditata secara astronomis sehingga cahaya masuk melalui bukaan tertentu pada Jumat Agung dan Minggu Paskah, tepat jatuh di altar. Koreografi cahaya ini menjadikan gereja sebagai instrumen spiritual sekaligus mikrokosmos langit.
Di dalamnya, cahaya menyapu dan memotong permukaan, menjadikan beton berat sebagai kanvas yang senantiasa berubah oleh bayangan dan berkas cahaya. Keheningan ruang begitu mendalam—hanya geometri dan cahaya yang tersisa.
Baca artikel lengkap: Gereja Santo Pierre di Firminy
Jika Église Saint-Pierre menatap bintang, maka Church of the Light karya Tadao Ando justru menoleh ke dalam, menuju kesunyian, ketenangan, dan esensi spiritual. Diselesaikan pada tahun 1989 di Ibaraki, Jepang, kapel ini merupakan ekspresi paling murni dari arsitektur sakral modern. Church of the Light menegaskan dualitas sebagai hakikat iman: padat dan hampa, gelap dan terang, sunyi dan bergaung, tiada dan ada. Gereja ini sejatinya tidak selesai saat dibangun, melainkan hanya sempurna ketika cahaya memasukinya, ketika dunia bergerak.
Dinding timur gereja dibelah oleh satu bukaan berbentuk salib, membentang dari lantai hingga langit-langit. Saat fajar menyingsing, cahaya menembus celah salib itu, menembus kegelapan interior, dan menyapu dinding beton kasar. Apa yang awalnya sekadar seberkas cahaya tipis perlahan melebar, menghidupkan ruang, melenyapkan bobot material, serta mentransformasi interior sederhana menjadi bejana kebangkitan. Ketika cahaya menembus salib dan jatuh ke lantai maupun dinding, ia seolah menciptakan arsitektur itu sendiri. Tanpa cahaya, bangunan bisu. Dengan cahaya, ia berbicara dalam roh.
Tidak terdapat ikon, lukisan, kaca patri, atau ornamen apa pun. Pesan tidak diceritakan, melainkan dialami. Arsitektur Ando tidak menarasikan agama, melainkan mengundang perjumpaan. Kesunyian material, kesederhanaan bentuk, serta kesabaran yang dibutuhkan untuk mengalami cahaya—semuanya merupakan bagian dari teologi kerendahan hati dan perhatian. Sepanjang milenia, cahaya siang tidak sekadar mengungkap ruang, tetapi juga mengungkap makna. Dari oculus di Pantheon hingga celah berbentuk salib di dinding Ando, cahaya adalah satu-satunya konstanta sakral. Ia adalah simbol sekaligus substansi, struktur sekaligus jiwa.